Popular Post

Archive for 06/01/2014 - 07/01/2014

Surat untuk calon suamiku

Ijinkan Aku Mengucapkan Terima Kasih Atas Keberadaanmu 

Terima kasih telah mempersiapkan dirimu untuk menyambutku. Terima kasih atas kedewasaanmu. Sebagai pria, kamu sadar harus lekas lulus dan mulai menjajaki dunia. Terima kasih sudah tumbuh jadi lelaki yang bisa diandalkan. Kamu tak hanya lihai memperbaiki mobil dan mengganti ban. Namun memang layak jadi panutan. Kau memperlakukanku seperti layang-layang. Membuatku terbang tinggi, tanpa pernah lupa menarik senar. Bersamamu kutemukan kebebasan yang penuh penjagaan.


Maafkan Aku Yang Belum Bisa Sepenuhnya Jadi Wanita Idamanmu 

 Diluar sana masih banyak yang lebih cantik dibanding aku. Mereka yang lebih lihai memadankan baju. Cerdik memulaskan pewarna di muka tanpa harus canggung dihadapmu. Tapi kau menganggap semua aksesori itu tak perlu. Kau ikhlas mengakrabi nadi di gurat leherku, kau pasrahkan liat tubuhmu pada tak lentiknya jari tanganku. Tak jarang aku malu saat kita bercumbu, namun kau lihai menyihirku jadi penggoda nomor satu: hanya untukmu.


 Terima kasih kau selalu menghargai masakanku 

Maafkan aku yang belum juga pintar memasak. Tak jarang kau akan temui makanan yang keasinan di akhir hari panjangmu. Alih-alih memarahiku, kau hanya mengusap rambut dan menuang kecap banyak-banyak. Katamu sambil berusaha tersenyum manis, “Ini enak kok, cuma perlu agak manis sedikit”. Kau habiskan hidangan itu tanpa protes. Padahal kau bisa saja keluar rumah, memilih membeli makanan di restoran yang tak pernah mengecewakan lidahmu. Terima kasih, untuk selalu menjaga hatiku.


 Jika Suatu Hari Kita Bertengkar Hebat, Tolong Ingatlah…

 Kita bisa berubah jadi monster paling menyebalkan bagi satu sama lain. Kamu sudah tak tahan lagi dengan omelan cerewetku. Bagimu aku sudah terlalu banyak bicara. Aku pun tak lagi bisa mentoleransi kebiasaanmu yang terlihat jorok di mataku. Bagaimana bisa kaus kaki kotor tak kau taruh di keranjang cucian? Justru kau biarkan tergeletak di lantai kamar. Kamu ingin aku menerimamu apa adanya. Aku berharap kau berubah. Kita saling membentak. Jari tertuding tak mau kalah.


 Salah satu dari kita harus mau mengalah 

Saat aku sedang keras kepala – peluk aku dan ingatkan – mau tak mau salah satu dari kita harus diam. Cinta bukan kompetisi yang perlu menghitung poin menang-kalah. Waktu kau lelah menghadapi egoismeku, bicaralah. Calon istrimu ini tak pandai membaca kode tanpa arah. Di titik kau tak mampu lagi dan ingin pergi, ingat kembali. Tuhan tak mungkin mempersatukan kita dengan suci hanya untuk semudah itu diakhiri.


Maka, Bersediakah Kamu?

Maukah kau jadi kawan terbaikku membangun masa depan? Jadi orang yang aroma badannya kuhirup saban malam. Pria yang namanya tak pernah alpa kusebut di tiap sujud dan tangkupan tangan. Kita akan memulai segalanya dari nol. Barangkali kau dan aku tak akan langsung hidup nyaman. Rumah kontrakan sederhana juga sudah cukup membahagiakan. Sudikah kamu jadi Bapak dari anak-anakku? Mereka yang akan kita dewasakan bersama. Nyawa-nyawa baru yang akan kita biasakan untuk rajin membaca. Tak mengalah pada kuasa tablet digital yang membuat mereka kian tak peka.



Menua bersama
Akankah kau mengijinkanku jadi wanita yang memiliki nama belakangmu? Menjadi pribadi terhormat yang mengandung anak dari benihmu.

Maukah kau menghabiskan masa denganku? Dengan rendah hati menerima segala kurangku. Betapa aku akan bahagia saat akhirnya bisa jadi orang pertama yang kau lihat setiap membuka mata.

Kita akan menua bersama,ditemani tawa dan kerut yang makin nyata. Berjanjilah, tak peduli  nanti kita akan berselisih paham. Atau kekurangan uang. Saat anak-anak kita berulah dan menyusahkan — kau dan aku akan kembali saling menatap untuk menemukan keyakinan : kita akan tetap baik-baik saja.


- Copyright © yantiramadhan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -